SAMARINDA – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dari Daerah Pemilihan IV Kutai Kartanegara (Kukar), Baharuddin Demmu, turut hadir mendampingi masyarakat Marangkayu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi I DPRD Kukar. Kehadiran Baharuddin di ruang rapat Komisi I pada Selasa (08/07/2025) tersebut merupakan bentuk kepedulian terhadap keluhan masyarakat yang terdampak proyek pembangunan Bendungan Marangkayu, khususnya terkait pembebasan lahan.
Sebagai mantan Kepala Desa Sebuntal, Baharuddin menyatakan dirinya telah cukup lama mengikuti perkembangan persoalan ini. Bahkan menurutnya, proses pengadaan lahan untuk proyek bendungan itu sudah berlangsung sejak 18 tahun silam, namun hingga kini belum terselesaikan sepenuhnya.
“Bendungan Marangkayu itu boleh dikata saat ini sudah 90 persen jadi, tapi menimbulkan dampak, sebagian besar tanah masyarakat itu sudah terbayar, tapi yang membuat kami kaget pada 2017 lalu muncul persoalan tumpang tindih lahan dengan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII yang berbasis di Kalimantan Barat (Kalbar), saya katakan HGU di Desa Sebuntal itu selama saya dulu menjadi Kades itu tidak ada melapor, jadi kami tidak tahu kalau itu ada HGU,” ungkapnya.
Baharuddin menjelaskan, selama kurun waktu 2007 hingga 2017, proses ganti rugi lahan berjalan lancar tanpa sengketa. Namun saat ini, ketika seluruh lahan telah didata dan dihitung nilainya mencapai Rp39 miliar, muncul gugatan dari PTPN XIII. Akibat gugatan tersebut, dana ganti rugi yang semestinya dibayarkan kepada warga dititipkan ke pengadilan melalui mekanisme konsinyasi.
“Mekanisme untuk pengambilan uang di pengadilan memang harus lewat proses pengadilan, dan saat ini sudah berproses sekitar hampir setahun, sayangnya masyarakat dikalahkan di pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat kedua dan hari ini kasasi. Kita berharap sebenarnya pak Menteri BUMN Erick Thohir, ini suara rakyat, bahwa wilayah PTPN itu yang kurang lebih HGU nya 13.631 hektare, pertama pak Menteri harus tahu HGU ini sudah mati sejak tahun 2020, maka kami yakin kalau HGU ini sudah mati maka tidak boleh dipakai sebagai alat, untuk rakyat tidak dibayar,” terangnya.
Menurutnya, warga sudah menguasai lahan tersebut sejak 1960-an hingga 1970-an, dan tidak pernah ada perubahan kepemilikan ataupun ganti rugi dari pihak perusahaan. Bahkan kawasan yang saat ini terendam air akibat bendungan merupakan sawah aktif, sementara HGU menyebutkan sebagai kebun karet.
“Kita minta bahwa lahan ini tidak pernah dikerjakan, tidak pernah dikuasai PTPN. Kalau pak Menteri tahu ini, harusnya tanah itu dikembalikan ke rakyat, kenapa! karena dampak dari penutupan bendungan sudah digenangi air, akibat digenangi itu banyak rumah warga yang hanya tinggal atapnya saja, kalau rakyat mau pergi ke kebunnya naik perahu dan ini jadi masalah. Saya berharap sebenarnya pemerintah provinsi, pemerintah Kabupaten Kukar dan kita semua termasuk di pusat karena ini juga sudah dilaporkan ke anggota DPD RI lewat Pak Sofyan Hasdam semua bergerak untuk membantu rakyat,” bebernya.
Ia menilai bahwa perusahaan tidak menunjukkan itikad baik dalam menyelesaikan persoalan tersebut. “Yang menjadi catatan saya, BOS PTPN ini tidak pernah peduli, yang datang dari PTPN selalu dari karyawannya yang berkantor di Kabupaten Paser yang tidak bisa mengambil keputusan, harusnya Bosnya bisa hadir agar persoalan ini cepat selesai, jadi PTPN ini menurut saya tidak ada niat baik kepada masyarakat,” tandasnya.[] ADVERTORIAL
Penulis: Muhammad Ihsan | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan