JAKARTA – Isu mengenai aktivitas tambang nikel yang merusak ekosistem dan keindahan alam Papua kembali menjadi sorotan publik. Perhatian masyarakat meningkat setelah muncul dugaan bahwa dua kapal pengangkut nikel yang melintas di wilayah Papua memiliki nama yang mirip dengan tokoh penting nasional, yakni Dewi Iriana dan JKW Mahakam.
Informasi ini beredar luas di media sosial X (sebelumnya Twitter), salah satunya melalui akun @Xerathvox pada Minggu (8/6). Dalam unggahannya, akun tersebut menyampaikan, “Kapal pengangkut nikel itu bernama DEWI IRIANA dan JKW MAHAKAM.. Bejat se bejat bejatnya!” Unggahan ini kemudian memicu perdebatan warganet. Sebagian pihak menyebut informasi tersebut sebagai hoaks, termasuk akun @keepithink yang menolak klaim itu tanpa menyertakan tautan atau bukti pendukung.
Menanggapi tudingan hoaks, akun @Xerathvox membantah dan mengklaim informasi tersebut valid berdasarkan data pelacakan kapal dari situs Marine Traffic dan Vessel Finder. Akun lain, @BarengWarga, juga menyatakan bahwa nama kapal tersebut benar ada, seraya mempertanyakan arti dari singkatan “JKW” pada nama kapal JKW Mahakam. Dalam perbincangan lanjutan, akun @dojjunn menyebut bahwa Dewi Iriana merupakan kapal tongkang dan JKW Mahakam adalah kapal tugboat, keduanya disebut milik anak usaha PT IMC Pelita Logistik Tbk, dengan kode saham SPSSI.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengambil langkah tegas terkait aktivitas tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan bahwa pihaknya akan meninjau ulang persetujuan lingkungan bagi empat perusahaan tambang nikel di kawasan tersebut. Hal ini dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian ekologis, serta merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dan dua putusan Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi yang melarang tambang di pulau kecil.
Selain peninjauan ulang, Hanif menyampaikan bahwa KLHK sedang melakukan penegakan hukum terhadap dua perusahaan, yakni PT ASP dan PT MRP. PT ASP diketahui melakukan pertambangan di Pulau Manuran tanpa sistem manajemen lingkungan yang memadai, menyebabkan pencemaran laut dan peningkatan kekeruhan air. Lokasi tambang PT ASP telah disegel, dan kementerian sedang memproses sanksi hukum yang mungkin bersifat pidana atau perdata.
Dokumen lingkungan PT ASP disebut masih dikeluarkan oleh Bupati Raja Ampat dan belum dikirimkan ke KLHK untuk diverifikasi. Hanif menegaskan bahwa dokumen tersebut akan diminta untuk direview ulang.
Kasus serupa juga ditemukan pada PT KSM di Pulau Kawei dan PT MRP di Pulau Manyaifun. PT KSM dilaporkan membuka lahan di luar izin pinjam pakai, sedangkan PT MRP belum mengantongi dokumen lingkungan meskipun telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kegiatan keduanya telah dihentikan.
“PT MRP bahkan belum memiliki dokumen apa pun selain IUP. Karena berada di pulau kecil dan dalam kawasan lindung, akan sangat sulit bagi kami memberikan persetujuan lingkungan,” ujar Hanif.
Berbeda dari tiga perusahaan tersebut, aktivitas tambang oleh PT GAG Nikel di Pulau Gag dinilai sesuai regulasi. Hanif menyebut bahwa PT GAG Nikel termasuk dalam daftar 13 perusahaan yang dikecualikan dari larangan penambangan di hutan lindung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004. Meski demikian, pengawasan tetap akan dilakukan secara ketat mengingat kawasan tersebut tergolong sensitif secara ekologis.
“Pulau Gag adalah kawasan yang sensitif secara ekologis. Meski secara hukum GAG Nikel memiliki semua izin, kehati-hatian tetap wajib diterapkan,” katanya. []
Redaksi11