SAMARINDA — Upaya mencari jalan tengah dalam penyelesaian ganti rugi lahan eks transmigrasi di kawasan Simpang Pasir, Kecamatan Palaran, Kota Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) terus bergulir. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) menegaskan komitmennya untuk tidak hanya berpegang pada aspek hukum, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai sosial yang menjadi dasar keberatan warga.
Persoalan yang telah berlangsung puluhan tahun ini bermula dari pemanfaatan lahan oleh pemerintah daerah untuk pembangunan aset publik. Sementara sebagian warga, terutama kelompok 118 kepala keluarga (KK), belum menerima kompensasi sebagaimana yang sudah diberikan kepada 84 KK sebelumnya. Hal tersebut kembali terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat yang difasilitasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim, melibatkan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim, Rabu (30/4/2025).
Dalam kesempatan itu, Kepala Disnakertrans Kaltim Rozani Erawadi mewakili Pemprov Kaltim menyampaikan bahwa pemerintah daerah saat ini sedang mencermati seluruh aspek hukum agar penyelesaian tidak menimbulkan persoalan baru. “Selama ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, pemerintah akan taat dan berkomitmen menyelesaikan sesuai aturan,” kata Rozani Erawadi menegaskan.
Menindaklanjuti penyelesaian sengketa, Pemprov Kaltim telah mengajukan skema pergantian lahan di Kutai Timur dan Paser, namun belum menemukan kesepakatan dengan warga dengan alasan keterikatan sosial di Simpang Pasir. “Putusan pengadilan tidak menyebutkan secara spesifik lokasi pengganti harus di tempat yang sama. Tapi karena belum ada titik temu, kami sedang mencari solusi terbaik, termasuk meminta fatwa hukum atau saran dari lembaga terkait,” ungkapnya.
Kepala Disnakertrans Kaltim memastikan bahwa Pemprov Kaltim terbuka terhadap opsi pembayaran tunai asalkan ada dasar legal yang jelas. Proses verifikasi akan dilaksanakan secara ketat demi akurasi data penerima. “Intinya, kami tetap patuh pada keputusan pengadilan dan akan menjalankan kesepakatan yang sah sesuai aturan yang berlaku,” tambahnya.
Bagi sebagian warga, perjuangan ini bukan hanya perkara materi, melainkan pengakuan terhadap sejarah panjang pemukiman mereka. Dalam rapat yang dipimpin Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim Salehuddin, terungkap bahwa perbedaan tafsir terkait bentuk kompensasi menjadi hambatan utama. “Putusan pengadilan menyebutkan bahwa ganti rugi berupa pergantian lahan. Namun dalam pelaksanaannya, tidak mudah, Pemprov menawarkan lahan pengganti di Kutai Timur dan Paser, tetapi masyarakat menolak karena lokasinya jauh,” terang Salehuddin.
Proses konsultasi hukum saat ini menjadi kunci untuk memastikan keputusan final yang adil. Pemprov menegaskan, penyelesaian persoalan Simpang Pasir harus mencerminkan keseimbangan antara penghormatan hak warga dan kepastian hukum yang berlaku.
Penulis: Muhammad Ihsan | Penyunting: Rasidah | ADV Diskominfo Kaltim