Pendidikan atau Hukuman? Jabar Kirim Siswa ke Barak

JAKARTA — Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali menjadi sorotan publik usai meluncurkan kebijakan kontroversial: mengirim siswa bermasalah ke barak militer. Kebijakan ini disebut-sebut sebagai langkah pembinaan karakter dan kedisiplinan bagi pelajar yang dianggap sulit dikendalikan oleh sekolah maupun keluarga.

Meski menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Komnas HAM, Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menyatakan bahwa kebijakan tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia, selama dijalankan dengan ketentuan yang jelas dan tanpa kekerasan fisik.

“Kegiatan di barak tidak mengandung unsur corporal punishment atau hukuman fisik. Maka, secara prinsip, kebijakan ini tidak bertentangan dengan HAM,” ujar Pigai di Kantor Kementerian HAM, Jakarta Selatan, Selasa (6/5).

Pigai bahkan menyebut bahwa jika uji coba pertama program ini terbukti berhasil, Kementerian HAM akan mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk menerapkan kebijakan serupa secara nasional.

“Kalau ini bagus, kami akan meminta Menteri Dikdasmen mengeluarkan peraturan agar bisa dijalankan secara masif di seluruh Indonesia,” katanya.

Namun, Pigai mewanti-wanti agar pelaksanaan program ini tidak melanggar hak-hak pendidikan anak. Ia menekankan bahwa kegiatan di barak militer harus tetap menjamin kelangsungan proses belajar-mengajar serta menjauh dari pendekatan kekerasan.

“Jangan sampai hanya karena dikirim ke barak, hak atas pendidikan anak-anak ini justru terabaikan,” ucapnya. Ia menambahkan bahwa masa depan sumber daya manusia Indonesia harus dibentuk dengan kesadaran akan HAM, demokrasi, keadilan sosial, serta nilai-nilai perdamaian dan kepedulian.

Kebijakan ini mulai diterapkan sejak 1 Mei 2025 di dua wilayah, yakni Purwakarta dan Bandung. Sebanyak 69 pelajar jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dikirim ke barak militer. Di Purwakarta, 39 siswa mengikuti pelatihan di Resimen Artileri Medan 1 Sirayuda, Batalion Armet 9. Sementara itu, 30 siswa dari Bandung dikirim ke Rindam III Siliwangi.

Menurut Dedi, keterlibatan TNI dan Polri dalam program ini bertujuan menanamkan nilai-nilai bela negara serta memperkuat karakter, terutama bagi siswa yang terjerat pergaulan bebas atau terindikasi terlibat dalam tindak kenakalan remaja.

“Kalau jadi pemimpin itu harus seteguh batu karang. Kalau pemikiran dan gagasan kita demi kebaikan bangsa, jangan pernah menyerah,” ujar Dedi lewat akun Instagram resminya @dedimulyadi71.

Ia juga menyebut bahwa dirinya telah terbiasa dengan berbagai kritik dan tuduhan sejak menjabat sebagai Bupati Purwakarta, dan tidak akan gentar menghadapi gelombang protes atas kebijakan ini.

Pandangan berbeda datang dari Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Nova Sigiro. Ia mengingatkan bahwa pelibatan militer dalam pendidikan formal bukanlah kewenangan TNI.

“Sebetulnya itu bukan domain TNI untuk memberikan pendidikan kewarganegaraan,” ujar Atnike saat ditemui di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta, Jumat (2/5).

Atnike menyatakan pihaknya masih menunggu penjelasan rinci dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengenai maksud dan metode dari program tersebut. Menurutnya, pelatihan semacam ini dapat diterima sejauh tidak dimaknai sebagai bentuk hukuman, melainkan edukasi non-formal yang berorientasi pada nilai-nilai positif.

Ia menambahkan bahwa keterlibatan militer dapat diterima jika tujuannya memperkenalkan profesi ketentaraan sebagai opsi karier. Namun, ia menolak keras jika pelatihan militer itu dijadikan bentuk disiplin berbasis hukuman atau tindakan represif terhadap pelajar.

“Kami tidak setuju jika pelatihan dilakukan dalam bentuk hukuman. Itu tidak tepat dan berpotensi melanggar prinsip HAM,” tegasnya.

Polemik ini menyoroti kembali perdebatan lama tentang pendekatan disiplin dalam pendidikan anak. Di satu sisi, pendekatan militer dianggap mampu membentuk karakter dan kedisiplinan siswa yang selama ini sulit dibentuk oleh lingkungan sekolah. Di sisi lain, pendekatan ini dinilai berpotensi mereduksi hak anak dalam mengembangkan jati diri secara bebas dan sesuai dengan nilai-nilai demokratis.

Kementerian HAM, dalam hal ini, mengambil posisi moderat. Mereka menyatakan mendukung program ini sepanjang tidak melibatkan kekerasan fisik seperti tamparan, cubitan, atau pukulan, yang tergolong corporal punishment.

“Metode semacam itu sudah ketinggalan zaman. Kita tidak ingin generasi masa depan dididik dengan cara-cara yang justru merusak mental mereka,” kata Pigai.

Ia menyebutkan bahwa Indonesia tengah bersiap menuju era transformasi nasional pada 2025–2035. Oleh karena itu, pembangunan karakter siswa harus dilakukan dengan pendekatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.

Hingga kini, belum ada indikator jelas yang digunakan pemerintah untuk menilai keberhasilan gelombang pertama program pelatihan militer ini. Apakah perubahan perilaku siswa menjadi satu-satunya tolok ukur? Atau apakah ada evaluasi akademis, psikologis, maupun sosial yang digunakan?

Ketidakjelasan ini menjadi salah satu alasan mengapa Komnas HAM mendesak adanya pengawasan ketat serta evaluasi menyeluruh sebelum program ini diperluas ke daerah lain.

Bagi publik, kebijakan ini tampaknya membuka ruang perdebatan panjang: apakah pendekatan semi-militer adalah solusi efektif bagi permasalahan perilaku siswa, atau justru bentuk pengabaian terhadap prinsip-prinsip pendidikan yang inklusif dan berorientasi pada perkembangan psikologis anak?

Sementara diskursus terus berkembang, puluhan siswa kini menjalani hari-hari mereka di barak militer, jauh dari bangku sekolah yang seharusnya menjadi ruang utama pendidikan karakter—tanpa perlu seragam loreng dan aba-aba komando. []

Redaksi11

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com