Terbongkarnya Mega Korupsi Pertamax Oplosan

JAKARTA – Kasus korupsi di tubuh Pertamina kembali mencoreng industri energi nasional. Kali ini, skandal yang terbongkar bukan hanya menyangkut praktik suap atau mark-up anggaran, tetapi sebuah kejahatan yang secara langsung merugikan masyarakat: peredaran Pertamax oplosan. Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap praktik kotor ini setelah penyelidikan mendalam yang melibatkan berbagai lembaga hukum dan pengawas energi. Fakta yang mencuat mengguncang kepercayaan publik terhadap perusahaan milik negara yang seharusnya menjadi pilar ketahanan energi nasional.

Terbongkarnya kasus ini pertama kali diumumkan oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada awal Maret 2024. Namun, penyelidikan terhadap dugaan pengoplosan Pertamax ini sebenarnya telah dimulai sejak akhir 2023 setelah adanya laporan dari masyarakat yang mencurigai perbedaan kualitas BBM di beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Berdasarkan investigasi awal, praktik ilegal ini diduga telah berlangsung sejak 2021 hingga awal 2024.

Dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Burhanuddin mengungkapkan bahwa pihaknya telah menetapkan beberapa tersangka dari kalangan internal Pertamina dan pihak swasta yang terlibat dalam pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan BBM non-subsidi. Modusnya adalah mencampurkan BBM jenis tertentu dengan bahan kimia lain untuk menyerupai Pertamax, lalu menjualnya dengan harga tinggi di pasar.

“Ini bukan sekadar praktik ilegal biasa, tetapi sebuah kejahatan yang terstruktur, sistematis, dan melibatkan banyak pihak di dalam Pertamina maupun di luar perusahaan. Akibatnya, konsumen dirugikan karena mereka membeli BBM yang kualitasnya tidak sesuai standar, bahkan berisiko merusak kendaraan,” tegas Burhanuddin di hadapan awak media.

Dari hasil penyelidikan Kejagung, skema ini dijalankan dengan cara menyalurkan BBM berkualitas rendah yang telah dicampur dengan zat aditif ke sejumlah SPBU yang bekerja sama dengan jaringan mafia energi. Dengan rekayasa ini, keuntungan yang diraup oleh para pelaku mencapai lebih dari Rp1,5 triliun. Uang hasil kejahatan tersebut diduga mengalir ke sejumlah pejabat dan pihak tertentu yang turut menikmati hasil dari perbuatan ilegal ini.

Sejauh ini, Kejagung telah menetapkan lima tersangka utama dalam kasus ini. Mereka adalah:

AH – Direktur Utama salah satu anak perusahaan Pertamina yang bertanggung jawab atas distribusi BBM.

BS – Manajer distribusi BBM yang diduga mengatur penyaluran Pertamax oplosan.

RM – Seorang pemilik perusahaan pemasok bahan kimia yang digunakan untuk mengoplos BBM.

TS – Pejabat di BPH Migas yang diduga menerima suap untuk menutup mata terhadap praktik ilegal ini.

JL – Pemilik jaringan SPBU yang menjadi distributor Pertamax oplosan di berbagai daerah.

Kejagung juga masih mendalami kemungkinan adanya tersangka lain, termasuk pejabat tinggi di lingkungan Kementerian BUMN atau pejabat pemerintah yang berperan dalam meloloskan distribusi BBM oplosan ini.

Kasus ini juga menyeret beberapa nama petinggi Pertamina yang diduga mengetahui dan membiarkan praktik ini berlangsung. Kejagung telah melakukan pemanggilan terhadap sejumlah direksi dan manajer terkait, termasuk beberapa pejabat di anak perusahaan yang bertanggung jawab atas distribusi BBM. Hingga kini, penyidik masih mendalami aliran dana yang berpotensi mengarah pada praktik pencucian uang.

Dampak dari skandal ini bukan hanya soal kerugian materiil, tetapi juga menyangkut kredibilitas Pertamina sebagai BUMN strategis. Publik yang selama ini mengandalkan produk BBM Pertamina kini semakin skeptis terhadap kualitas dan transparansi pengelolaan energi di Indonesia. “Kami merasa ditipu. Selama ini kami membayar mahal untuk mendapatkan BBM berkualitas, tetapi ternyata yang kami dapatkan adalah bahan bakar oplosan yang bisa merusak kendaraan,” ujar Rudi, seorang pengguna kendaraan yang mengaku sering membeli Pertamax.

Selain dari sisi konsumen, dampak lain dari praktik ini adalah potensi kerusakan lingkungan akibat penggunaan BBM yang tidak sesuai standar. Para ahli energi menyoroti bahwa bahan bakar oplosan bisa menghasilkan emisi yang lebih tinggi dan mempercepat degradasi mesin kendaraan. “Jika dalam jangka panjang dibiarkan, ini bukan hanya merugikan masyarakat secara finansial, tetapi juga berdampak negatif pada lingkungan karena emisi gas buangnya lebih berbahaya,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).

Sejumlah pengamat mendesak agar kasus ini diusut hingga ke akar-akarnya dan tidak berhenti pada aktor-aktor di lapangan. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menegaskan bahwa penyidikan harus mengarah pada kemungkinan adanya keterlibatan oknum di tingkat lebih tinggi. “Kami tidak ingin kasus ini hanya berhenti pada pelaku di lapangan. Harus ditelusuri siapa saja yang mendapat keuntungan dari permainan kotor ini. Jika ada keterlibatan pejabat tinggi, mereka juga harus bertanggung jawab,” katanya.

Menanggapi skandal ini, Menteri BUMN Erick Thohir memastikan bahwa pihaknya tidak akan menoleransi segala bentuk penyimpangan di tubuh Pertamina. Erick menegaskan bahwa pihaknya akan mendukung penuh langkah hukum yang diambil Kejagung. “Tidak ada tempat bagi mafia BBM di Indonesia. Kami siap melakukan bersih-bersih dan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang terbukti terlibat,” ujar Erick dalam pernyataan resminya.

Dalam upaya memperbaiki sistem distribusi dan pengawasan BBM, Pertamina berjanji akan memperketat kontrol kualitas di semua lini distribusi. Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengungkapkan bahwa perusahaan akan menerapkan sistem pengawasan berbasis teknologi untuk mencegah manipulasi serupa terjadi di masa depan. “Kami akan memperkuat pengawasan dengan teknologi blockchain dan sistem monitoring digital yang dapat mendeteksi setiap anomali dalam distribusi BBM,” ungkapnya.

Skandal ini menjadi tamparan keras bagi dunia energi nasional. Pertamina yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyediakan energi berkualitas justru dirusak oleh praktik korupsi yang menggerogoti kepercayaan publik. Kasus ini juga membuktikan bahwa mafia migas masih bercokol kuat di Indonesia, mengendalikan pasar dengan cara-cara yang merugikan negara dan rakyat.

Kini, masyarakat menantikan langkah tegas dari aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus ini. Akankah ini menjadi momentum bersih-bersih bagi industri energi nasional, atau justru akan menjadi satu lagi skandal yang hilang di tengah arus politik dan kepentingan segelintir elite? Waktu yang akan menjawab, tetapi satu hal yang pasti: publik menuntut keadilan dan transparansi dalam sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak. []

Redaksi03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com